Beliau
adalah ummul mukminin yang gemar berpuasa dan shalat. Ibunya adalah
Zainab binti Madh'un binti Hasib. Hafshah adalah istri dari sahabat
Khunais bin Khudzafah Al Sahmi yang ikut hijrah ke Habsyah dan Madinah.
Khunais syahid pada perang Uhud. Ketika itu Hafshah berusia 18 tahun.
Meski hidup dirundung duka, namun keimanan dan keteguhan hati Hafshah
dapat meredam segala yang terjadi dan menerpa pada dirinya. Ia menyadari
benar bahwa semua adalah takdir dari-Nya. Kesabaran, ketabahan, sikap
hidup qanaah dan wara' Hafshah selalu menyelimuti pribadinya. Umar
sebagai ayah dari sahabiah yang dijuluki shawwamah (selalu puasa) dan
qawwamah (selalu bangun malam) ini, beliau berusaha mencarikan teman
hidupnya yang cocok. Beliau berangan jika Hafshah dipertemukan oleh
Allah dengan sahabat Utsman bin Affan ra. Karena Utsman juga senasib
dengan Hafshah. Utsman telah ditinggal oleh istrinya yang tercinta
Ruqayyah binti Rasulullah SAW.
Selain
itu Ustman adalah sahabat Rasulullah yang terdekat. Beliau terkenal
dengan julukan Al Faruq. Akan tetapi Allah menghendaki lain, meski Umar,
Sang Ayah, berkeinginan keras agar Hafshah dapat dipertemukan dengan
Utsman ra. namun ternyata Utsman menyatakan ketidaksanggupannya dengan
halus. Selain Utsman, Abu Bakar juga diberi tawaran untuk mempersunting
sahabiah Hafshah ini. Namun, ternyata belum juga dikehendaki oleh Allah.
Barangkali, disinilah hikmah-Nya yang sangat agung. Bahwa di setiap
kesusahan pasti akan datang kemudahan. Dan apa yang belum digenggam di
tangan manusia di saat ini, barangkali akan diganti oleh Allah dengan
yang lebih baik di hari depan.
Sebagai
seorang ayah, sahabat Umar tetap berusaha mencarikan pasangan hidup
yang serasi untuk shahabiah Hafshah. Setelah beberapa langkah ia tempuh
dan Allah belum membukakan jalan, akhirnya semua diadukan kepada
Rasulullah SAW. Dari Rasulullah inilah hati Umar merasa tenteram. Dahaga
yang diresahkan Umar, disiram dengan kesejukan kata mulia dari makhluk
Allah yang paling mulia, Rasulullah SAW. Rasulullah berkata, bahwa
Hafshah akan menikah dengan yang lebih baik dari Utsman. Dan Utsman akan
menikah dengan yang lebih baik dari Hafshah.
Dan
benar, akhirnya Allah mempertemukan sahabiah Hafshah dengan manusia
teragung di dunia ini, Rasulullah SAW. Hal ini belum pernah terbayangkan
oleh Hafshah, bahkan Umar sendiri sebagai ayahnya. Itulah buktinya lagi
bahwa kesabaran dapat menjanjikan sejuta kesenangan di hari depan, yang
tidak pernah terlintas di benak manusia. Semua barangkali karena
manusia hanya mampu melihat segala yang kasat mata, sementara kaca mata
Ilahi lebih tajam dari apa yang ada di sisi manusia. Disitulah juga
letak 'ibrah (pelajaran) bagi kita semua. Kita tentunya ingat pada suatu
kaidah yang mengatakan bahwa al 'ibratu bi 'umum al lafdzi la bikhushush al sababi; pelajaran dilihat dari generalisasi lafadznya, bukan dari spesifikasi sebab yang terjadi.
Dari sinilah Hafshah mendapat semangat hidup yang prima, karena didampingi oleh manusia yang paling mulia; Rasulullah SAW.
Semangat
hidup tersebut sangat nampak sekali setelah beliau hidup di
tengah-tengah rumah Rasulullah SAW. yang dibuktikan dengan potensi iman,
akhlak dan akal yang sangat dibanggakan. Sebagaimana yang makruf, bahwa
rumah Rasulullah adalah rumah kenabian. Rumah Rasulullah adalah rumah
ilmu. Rumah Rasulullah adalah rumah Al Quran. Maka istri-istri nabi
senantiasa menghidupkan karakter kehidupan rumah Rasulullah dengan
semangat ilmu, semangat ibadah dan semangat amal yang tinggi tersebut.
Bahkan
diantara istri-istri nabi mempunyai kelebihan-kelebihan yang berbeda
antara satu dengan lainnya. Hafsah sendiri terkenal sebagai sahabiah
yang terkenal banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW, hingga
wafatnya. Bahkan diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar sendiri yang
selalu meniru segala jejak dan amal Rasululllah, selalu menjadikan
Hafshah sebagai rujukan, tempat bertanya tentang hadits yang beliau
tidak ketahui. Dari segi ibadahnya sahabiah Hafshah ini terkenal dengan
julukan al shawwamah al qawwamah (yang senantiasa puasa dan bangun malam). (Lihat al Ishabah fi al Tamyiz al Shahabah:4/265).
Ketika
Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, pada awal kekhalifahan beliau
terjadi fenomena kemurtadan yang cukup riskan, terutama mereka yang
belum kuat imannya.. Bahkan mengganggu stabilitas masyarakat Islam yang
baru ditinggal oleh Rasulullah SAW. Di daerah Nejed dan Yaman banyak
kaum muslimin yang melepaskan diri dari keislamannya dan menolak
membayar jizyah. Maka diutuslah pasukan untuk menyelesaikan permasalahan
ini oleh Abu Bakar . Dan terjadilah peperangan yang cukup hebat,
setelah beberapa peringatan yang disampaikan kepada mereka agar kembali
kepada Islam.
Tentara
Islam yang ikut dalam operasi ini mereka banyak dari para penghafal Al
Quran. Dalam peperangan ini telah gugur sebanyak 70 sahabat penghafal
Al-Quran. Bahkan dalam suatu riwayat diceritakan bahwa sebelum
peperangan itu terjadi, telah gugur para penghafal Al Quran dengan
jumlah yang sama ketika di Bi'ru Ma'unah, dekat kota Madinah. Maka dari
itu Umar ra. khawatir kalau sahabat para penghafal Al Quran yang lain,
yang masih hidup, juga akan gugur. Kemudian beliau datang kepada Abu
Bakar ra. memusyawarahkan hal ini. Umar mengusulkan agar Al Quran yang
ada dikumpulkan, demi menjaga kemusnahan.
Dalam
pengumpulan Al Quran ini sahabat yang bertanggung jawab adalah Zaid bin
Tsabit. Ia bekerja sangat teliti dan hati-hati. Dan, terkumpullah Al
Quran tersebut dalam satu mushaf. Mushaf tersebut akhirnya dipercayakan
pemeliharaannya kepada sahabiah Hafshah ra., yang akhirnya dikenal
dengan nama mushaf Hafshah. Beliaulah sang pemelihara Al Quran, selama
10 tahun hingga datang masa Utsman ra menjabat sebagai khalifah. Pada
masa Utsman mushaf Hafshah diperbanyak kembali dan disebarkan ke seluruh
wilayah kekuasaan kaum muslimin untuk menyatukan bacaan.
Begitu
besarnya peran Hafshah terhadap ummat Islam. Dan begitu agungnya nilai
kesabaran dan keteguhannya, hingga membawa beliau kepada kedudukan yang
sungguh sangat mulia; sebagai pendamping Rasululullah (tergolong dari
istri nabi yang kelima selain Ummi Habibah, Ummi Salmah, Aisyah dan
Saudah binti Zam'ah), sebagai sumber rujukan ilmu dan sebagai pemelihara
Al Quran. Dan benar, bahwa hasil dari kesabaran lebih manis dari madu
(ahla min al'asal) meskipun rasa awalnya lebih pahit dari bratawali. Wallahu yahdi ila sawa al sabil. wahuwa ahkam wa 'alam.
semoga bermanfaat ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar